Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE.
La Tenri Tatta To Unru adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah
yang mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga
dianggap sebagai orang pertama menerima agama Islam di Celebes Selatan.
Karena pada waktu itu orang Bone menolak agama Islam, maka Arumpone La
Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal dunia sehingga
dinamakan MatinroE ri Bantaeng.
Ketika La Tenri Tatta To Unru baru
berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa, Bone diserang
dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan
ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta beberapa anak bangsawan
Bone lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam peristiwa yang disebut Beta
Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe adalah sebuah kampung kecil
yang dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan dan
disitulah dia dikalahkan. Semua tawanan Gowa termasuk orang tua La Tenri
Tatta Arung Palakka dibawa ke Gowa.
Sesampainya di Gowa, tawanan-tawanan itu
dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa. La Pottobune, isterinya We
Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru diambil oleh KaraengE ri
Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa dan ditunjukkan sebidang
tanah untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disitu pulalah
membuat pondok untuk ditempatinya.
Karena La Tenri Tatta To Unru dianggap
masih anak-anak, maka To Unru selalu diikutkan oleh KaraengE ri Gowa
apabila bepergian. La Tenri Tatta biasanya ditugasi untuk membawa tombak
atau sebagai –pakkalawing epu (pembawa perlengkapan) yang diperlukan
oleh KaraengE ri Gowa dalam perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta
dikenal banyak kalangan, termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa.
La Tenri Tatta To Unru memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas.
Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng
Patingalloang untuk diajari tentang adat-istiadat Mangkasar (Gowa).
Setelah Karaeng Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung. Karaeng Karunrung inilah yang terkenal sangat kejam terhadap orang-orang Bone yang menjadi tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu Mabbicara Butta ri Gowa yang minta kepada Tobala Jennang Bone untuk dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone yang akan dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng.
Jumlah tersebut tidak bisa dikurangi,
diganti atau dibayar. Walaupun seseorang yang telah ditunjuk itu ada
yang bisa menggantikannya atau mampu untuk membayarnya, namun oleh
Karaeng Karunrung tidak membenarkannya.
Ketika orang Bone yang jumlahnya 10.000
itu tiba, langsung dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat
benteng. Tiap-tiap 10 orang diawasi oleh seorang mandor dari orang Gowa
sendiri. Mereka dipekerjakan mulai pagi sampai malam dan hanya diberi
kesempatan istirahat pada waktu makan. Makanannya tidak ditanggung oleh
Karaeng Karunrung, tetapi harus dibawa sendiri dari Bone.
Adapun La Tenri Tatta To Unru Daeng
Serang, sudah kawin dengan seorang anak bangsawan Gowa yang bernama I
Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu
bekerja, La Tenri Tatta To Unru menggabungkan diri dan bekerja juga
sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Ia juga merasakan bagaimana
penderitaan orang Bone disiksa oleh mandor-mandor orang Gowa yang
mengawasi pekerjaan itu.
Suatu ketika, KaraengE ri Gowa akan
memperingati Ulang Tahunnya, maka diadakanlah perburuan rusa di Tallo.
Seluruh rakyat diharuskan mengikuti perburuan tersebut. La Tenri Tatta
Daeng Serang yang biasa membawakan tombak KaraengE, kebetulan tidak
ikut. Oleh karena itu orang tuanya La Pottobune’lah yang ditunjuk oleh
KaraengE ri Gowa untuk membawakan tombaknya.
Sesampainya KaraengE ri Gowa pada lokasi
perburuan rusa di Tallo, terpencarlah orang banyak baik sebagai pemburu
atau sebagai penunggang kuda untuk menelusuri hutan-hutan mencari rusa.
Kebetulan ada dua orang pekerja parit yang melarikan diri dan
bersembunyi dihutan, karena disangkanya dirinya yang dikepung. Kedua
orang tersebut ditangkap oleh pemburu dan dihadapkan kepada Karaeng
Karunrung. Keduanya disiksa, dipukuli sampai meninggal dunia.
La Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta
sangat prihatin menyaksikan penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan
perasaannya. Datu Lompulle tidak mampu menahan emosinya dan pada saat
itu juga ia mengamuk dengan menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang
dibawanya. Setelah membunuh banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan
disiksa seperti layaknya pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena
La Pottobune’ memiliki ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah
dia meninggal dunia setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan
alu.
Sejak kejadian itu, La Tenri Tatta To
Unru Daeng Serang tidak bisa lagi tidur. Setiap saat ia selalu berdoa
kepada Dewata SeuwaE agar diberi jalan yang lapang untuk kembali
menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya di Bone La Tenri Tatta To
Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu Soppeng yang bernama La
Tenri Bali yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Datu Soppeng La
Tenri Bali dengan Jennang Tobala memang telah membuat suatu kesepakatan
untuk membangkitkan kembali semangat orang Bone melawan Gowa.
Kesepakatan antara Jennang Tobala dengan Datu Soppeng inilah yang
kemudian dikenal dengan nama Pincara LopiE ri Attapang.
Kepada
pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk dipakai
dalam perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa
diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan
ini akan memakan waktu yang lama dan akan menelan banyak pengorbanan.
Tidak berapa lama, datanglah orang Gowa
dengan jumlah yang sangat besar lengkap dengan persenjataan perangnya
mencari jejaknya. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara La
Tenri Tatta To Unru bersama pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru.
Tetapi karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta
To Unu bersama pasukannya mundur kearah utara. Sementara orang Gowa
yang merasa kehilangan jejak, melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone
orang Gowa betempur lagi melawan Tobala dengan pasukannya yang berakhir
dengan tewasnya Jennang Tobala Petta PakkanynyarangE.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Tewasnya Tobala Arung Tanete Petta
PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallombasi Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin merasa perlu untuk
mengangkat Jennang yang baru di Bone. Ditunjuklah La Sekati Arung Amali
sebagai pengganti Tobala, sementara Datu Soppeng La Tenri Bali ditawan
di Gowa dan ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng.
Karena merasa selalu diburu oleh orang
Mangkasar ( Gowa ), La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya
semakin terjepit dan sulit untuk tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena itu
bersama Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana sepakat untuk
menyeberang ke Butung Tanah Uliyo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan
siapa tahu nanti di Butung Tanah Uliyo bisa mendapatkan teman yang
dapat diajak bekerja sama melawan Gowa. Dipersiapkanlah sejumlah perahu
dan pada saat yang tepat La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh
pengikutnya bertolak dari pantai Cempalagi Ujung Pallette menuju ke
Butung Tanah Uliyo.
Beberapa saat saja setelah meninggalkan
Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun datang mencari jejaknya. Tetapi
La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya telah berada ditengah laut
menuju ke Butung Tanah Uliyo. Dengan demikian orang Gowa segera kembali
untuk menyampaikan kepada KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru
bersama seluruh pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi.
Besar kemungkinannya ia menyeberang ke Butung Tanah Uliyo untuk minta
perlindungan kepada Raja Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Sesampainya di Tanah Uliyo, La Tenri
Tatta To Unru Arung Palakka diterima baik oleh Raja Butung dan diberinya
tempat untuk istirahat dengan pengikutnya. Kepada La Tenri Tatta To
Unru, Raja Butung berkata,
”Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang akan menuju ke Ambon dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan denganmu. Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau nantinya orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada saya, karena kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat menuju ke Ambon dan Ternate”.
Pada saat La Tenri Tatta To Unru akan
bertolak ke Butung, ia singgah bernazar di gunung Cempalagi dekat
Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La Tenri Tatta To Unru bertekad tidak
akan memotong rambutnya sebelum dirinya bersama seluruh pengikutnya
kembali dengan selamat di Tanah Ugi. Sejak itu rambutnya dibiarkan
menjadi panjang dan digelarlah MalampeE Gemme’na.
KaraengE ri Gowa sudah mengetahui bahwa
La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama pengikutnya telah berada di
Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu disiapkanlah pasukan dengan jumlah
besar yang diperlengkapi dengan senjata perang untuk menyerang Butung
Tanah Uliyo. Apalagi maksud untuk menyerang Butung memang telah lama
direncanakan, karena Butung selalu menjadi tempat persinggahan
kapal-kapal Kompeni Belanda kalau akan berangkat ke Ambon dan Ternate.
Tidak lama kemudian utusan KaraengE ri
Gowa datang ke Butung untuk mencari La Tenri Tatta bersama pengikutnya.
Tetapi sebelum utusan itu naik kedarat, Raja Butung menyampaikan kepada
La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya untuk bersembunyi disebuah
sumur besar dan tidak berair tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada
La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti
kalau utusan KaraengE ri Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa
kamu dengan seluruh pengikutmu tidak berada diatas Tanah Uliyo”.
Karena pernyataan Raja Butung bahwa La
Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya tidak berada diatas Tanah Uliyo
dan utusan KaraengE ri Gowa memang tidak melihat adanya tanda bahwa
orang yang dicarinya ada di tempat itu, maka utusan itupun pamit dan
kembali ke Gowa.
KaraengE ri Gowa rupanya tidak kehabisan
akal, maka disusunlah strategi baru dengan memperbanyak pasukan dan
diperlengkapi dengan persenjatan untuk menyerang Butung sampai ke
Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja bersama Karaeng Bonto
Marannu untuk memimpin pasukan ke Tanah Uliyo. Menurut rencananya
setelah Butung kalah, serangan akan dilanjutkan ke Ternate untuk
menangkap Raja Ternate.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Atas perintah KaraengE ri Gowa, Datu Luwu
bersama Karaeng Bonto Marannu berlayar ke Butung membawa pasukan untuk
menyerang Butung dan selanjutnya Ternate. Sementara itu, berita tentang
keberangkatan pasukan Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung
telah sampai pula pada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri
Gowa segera mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu
Soppeng yang bernama La Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng.
Didudukkanlah Bone sebagai Palili (daerah bawahan) dari Gowa yang
berarti Bone telah lepas dari penjajahan Gowa.
Adapun maksud KaraengE ri Gowa
mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng untuk menduduki kembali Mangkau’
Bone, agar orang Bone tidak lagi melihat Gowa sebagai lawan yang sedang
bermusuhan dengan Kompeni Belanda. Sementara La Tenri Bali Datu Soppeng
yang tadinya ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng
sebagai tawanan, dikembalikan pula ke Soppeng. Selanjutnya Soppeng
didudukkan pula sebagai Palili dari Gowa sebagaimana halnya Bone. Sejak
itu Soppeng bukan lagi sebagai jajahan Gowa melainkan sebagai daerah
bawahan saja.
Kapal-kapal Kompeni Belanda yang memuat
pasukan tempur yang dipimpin oleh Cornelis Speelman tiba di Butung.
Diatas kapal ada La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama dengan
seluruh pengikutnya. Sesampainya di Butung, La Tenri Tatta To Unru
Arungt Palakka MalampeE Gemme’na memperoleh informasi bahwa yang
memimpin pasukan Gowa adalah Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto
Marannu. Oleh karena itu La Tenri Tatta berkata kepada Cornelis Speelman
agar jangan melepaskan tembakan. La Tenri Tatta memberi penjelasan
kepada Cornelis Speelman bahwa Bone dengan Luwu sama-sama jajahan Gowa
dan tidak pernah bermusuhan. Begitu pula Karaeng Bonto Marannu tidak
pernah terjadi perselisihan faham dengannya. Keduanya hanya disuruh oleh
KaraengE ri Gowa unuk menyerang orang Bone.
Selanjuitnya La Tenri Tatta mengajak
kepada Cornelis Speelman untuk mengirim utusan kedarat guna menemui Datu
Luwu dan Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada jalan yang bisa ditempuh
dan tidak saling bermusuhan sesama saudara. Ajakan itu disetujui oleh
Speelman dan diutuslah beberapa orang naik menemui Datu Luwu dan Karaeng
Bonto Marannu. Sesampainya ditempat Datu Luwu dan Karaeng Bonto
Marannu, utusan itu menyampaikan bahwa Arung Palakka bersama Cornelis
Speelman mengharapkan Datu Luwu bersama Karang Bonto Marannu turun ke
kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk berbicara secara baik-baik.
Mendengar apa yang disampaikan oleh
utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu sependapat
bahwa lebih banyak buruknya dari pada baiknya jika kita saling
bermusuhan sesama saudara. Kalau kita berdamai, hanyalah senjata kita
yang diambil. Tetapi kalau kita bertahan untuk berperang, maka senjata
beserta seluruh pasukan kita ikut diambil.
Setelah saling bertukar pendapat antara
Datu Luwu dengan Karaeng Bonto Marannu yang mendapat persetujuan dari
seluruh pasukannya, maka turunlah ke kapal Kompeni Belanda menemui La
Tenri Tatta Arung Palakka dan Cornelis Speelman sebagai pimpinan pasukan
Kompeni Belanda. Dari atas kapal nampak Arung Belo, Arung Pattojo,
Arung Ampana serta Arung Bila menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng
Bonto Marannu beserta beberapa pengikutnya.
Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto
Marannu menyatakan bergabung dengan Arung Palakka, makanya keduanya
minta perlindungan Kompeni Belanda. Untuk mengamankan keduanya dari
KaraengE ri Gowa, dibawa ke sebuah pulau oleh Cornelis Speelman. Nanti
setelah perang selesai, barulah kembali ke negerinya. Sedangkan
pasukannya dinaikkan ke kapal untuk dibawa pulang ke kampungnya setelah
dilucuti seluruh senjatanya.
Sementara itu, berita tentang
dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La Tenri Bali ke Soppeng
oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng didudukkan sebagai Palili
(daerah bawahan), telah sampai kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Lalu
Arung Palakka mengirim utusan ke Bone dan Soppeng agar Arumpone dan
Datu Soppeng tetap mengangkat senjata untuk melawan KaraengE ri Gowa
Sultan Hasanuddin.
La Tenri Tatta Arung Palakka bersama
Cornelis Speelman dengan persenjatan yang lengkap meninggalkan Butung
menyusuri daerah-daerah pesisir yang termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa.
Banyak daerah pesisir yang tadinya berpihak kepada Gowa, berbalik dan
menyatakan berpihak kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Sementara
melalui darat, Arung Bila, Arung pattojo, Arung Belo dan Arung Ampana
terus membangkitkan semangat orang Bone dan orang Soppeng untuk
berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah Pabbiring Barat
berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa.
Dengan demikian keadaan KaraengE ri Gowa
Sultan Hasanuddin sudah terkepung. Kompeni Belanda dibawah komando
Cornelis Speelman menghantam dari laut, sementara Arung Palakka dengan
seluruh pasukannya menghantam dari darat. Semua arung yang tadinya
membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan, kecuali Wajo tetap
membantu Gowa.
Karena merasa sudah sangat terdesak dan
pertempuran telah banyak memakan korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka
pada hari Jumat tanggal 21 November 1667 M. KaraengE ri Gowa I
Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin
bersedia mengakhiri perang. Kesediaannya itu ditandai dengan suatu
perjanjian yang bernama Perjanjian Bungaya. Perjanjian mana ditanda
tangani oleh Sultan Hasanuddin dengan Cornelis Speelman Admiral Kompeni
Belanda. Sementara perjanjian Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka
adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan Gowa.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
La Tenri Tatta Arung Palakka menjawab ;
”Saya menjunjung tinggi keinginan Puatta, tetapi saya tetap berpendapat
bahwa nantilah api itu padam baru dicarikan penggantinya, artinya
nantilah Arumpone benar-benar sudah tidak ada baru diganti”.
Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap
memangku Mangkau’ di Bone sampai ia meninggal dunia. Akan tetapi
hanyalah simbol belaka, sebab yang melaksanakan pemerintahan adalah
kemenakannya yang bernama La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka.
Bagi Kompeni Belanda hubungannya dengan
arung-arung di Tanah Ugi harus melalui La Tenri Tatta Arung Palakka.
Cornelis Speelman meminta kepada Gubernur Jenderal di Betawe agar Arung
Palakka diangkat menjadi Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi
pimpinan bagi arung-arung di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To
RisompaE.
Dalam tahun 1672 M. Arumpone La
Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung Palakka resmi menjadi
Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670 M, karena Arung
Matowa Wajo yang bernama La Tenri Lai belum mau mengalah pada saat
diadakannya Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai menyatakan kepada KaraengE
ri Gowa Sultan Hasanuddin bahwa perang antara KaraengE dengan Kompeni
Belanda telah berakhir, tetapi perang Wajo dengan Arung Palakka belum
selesai.
Oleh karena itu Sultan Hasanuddin
menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk kembali ke Wajo bersama seribu
pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul kemudian oleh Arung Palakka
bersama seluruh pengikutnya dan berperanglah selama empat bulan. Korban
berguguran baik dari Bone, Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian
TellumpoccoE, akhirnya Wajo kalah. Tosora terbakar, bobol sudah
pertahanan Wajo.
Dalam peperangan yang dahsyat ini, Arung
Matowa Wajo La Tenri Lai To Sengngeng gugur terbakar, maka digelarlah
MatinroE ri Salokona. Dengan demikian datanglah utusan PillaE PatolaE
minta untuk diadakan gencatan senjata atau menghentikan perang kepada
Bone dan Soppeng.
Permintaan itu dijawab oleh Arung Palakka
bahwa hanya diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengurus jenazah
Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu, sepakatlah orang Wajo untuk
mengangkat La Palili To Malu menggantikan La Tenri Lai To Sengngeng
sebagai Arung Matowa Wajo yang baru.
Arung Matowa Wajo inilah yang menyatakan
diri kalah dengan Bone dan Soppeng. Pada tanggal 23 Sepetember 1670 M.
La Palili To Malu naik ke Ujungpandang untuk menanda tangani perjanjian
dalam Benteng Rotterdam. Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri
Bantaeng, Datu Soppeng, Arung Tanete serta beberapa petinggi lainnya
yang mengantar Arung Matowa Wajo La Palili To Malu masuk ke Benteng
Rotterdam. Arung Matowa Wajo brsama dengan PillaE yang bernama La
Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La Pangabo, CakkuridiE yang bernama La
Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE Bate Lompo ri Wajo.
Setelah selesai berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik perempuannya yang bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi Maddanreng di Palakka. We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE Toangkone Arung Timurung yang juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang bernama We Hadijah I Dasaleng Arung Ugi.
Lima bulan setelah perkawinan adik perempuannya We Mappolo BombangE Maddanreng Palakka, dalam tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan keramaian untuk melepaskan nazarnya ketika hendak meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya itu adalah,
“Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara (belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar (bangsawan tinggi) di Gowa.
Pada saat itulah La Tenri Tatta Arung
Palakka menyampaikan kepada pengikutnya bahwa ia memanjangkan rambutnya
selama dalam perantauan dan nanti akan dipotong setelah kembali
menegakkan kebesaran Bone. Maka setelah melepaskan nazarnya di
Cempalagi, iapun memotong rambutnya, kemudian mangosong (bernyanyi),
”Muaseggi belobelo, weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana”.
Ketika acara potong rambutnya yang
diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai, La Tenri Tatta To Unru
melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor kerbau dilereng gunung
Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam dengan belang dibagian
ekor dan kepala) bertanduk emas (ditaruh emas pada tanduknya). Tiga
ratus ekor sebagai pengganti kepala bangsawan Gowa dan bangsawan
Mangkasar.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Pada tanggal 3 – 11 – 1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka melahirkan anak laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenri Bali MalaE Sanrang. Anak ini lahir dari perkawinannya denga La PakokoE Toangkone Arung Timurung.
Atas kelahiran La Patau Matanna Tikka membuat La Tenri Tatta Arung Palakka Petta To RisompaE sangat
gembira. Karena menurut pikirannya, sudah ada putra mahkota yang bisa
melanjutkan akkarungeng di Tanah Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka yang
tidak memiliki anak, menganggap bahwa anak dari adik perempuannya
itulah yang menjadi anak pattola (putra mahkota).
Setelah Arumpone La Maddaremmeng
meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah anggota Hadat Bone yang
didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar Kompeni Belanda untuk
mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi Arumpone menggantikan
pamannya.
Agar dapat memperoleh keturumnan La Tenri Tatta Arung Palakka kawin dengan We Yadda Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna dengan isterinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo. Namun dari perkawinannya itu, tetap tidak memperoleh keturunan.
Adapun saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang kawin dengan To Dani juga tidak memiliki keturunan. Saudara perempuaannya yang tua yang bernama We Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario Riwawo. Dia pula yang diikutkan sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri Abang kawin dengan La Mappajanji atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng Risanga.
Melihat bahwa tidak ada lagi musuh yang
berarti, maka Arumpone La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka mengumpulkan
seluruh Bocco (Akkarungeng Tetangga) di Baruga TelluE Coppo’na di
Cenrana. Diadakanlah suatu pesta untuk disaksikan oleh arung-arung yang
pernah ditaklukkannya, termasuk pembesar-pembesar Kompeni Belanda. Dalam
kesempatan itu, Arumpone La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan
kepada semua yang hadir bahwa dirinya telah melepaskan nazar dan telah
meletakkan samaja (sesaji) dan juga telah memotong rambutnya.
Seluruh yang hadir pada pesta tersebut mendengarkan dengan baik tentang
apa yang disampaikan oleh Petta To RisompaE.
“Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah passeyajingeng Tanah Bone, termasuk passeyajingeng keturunan MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan Allah kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki keturunan.
Adapun kemanakanku yang bernama La Patau
Matanna Tikka, anak dari Maddanreng Palakka saya berikan akkarungeng ri
Bone. Sedangkan kemanakanku yang satu anak Datu Mario Riwawo, saya
wariskan harta bendaku, kecuali yang masih ada pada isteriku I
Mangkawani Daeng Talele”.
La Patau Matanna Tikka berkata ; “Saya
telah mendengarkan pesan pamanku Petta To RisompaE bahwa saya diharapkan
untuk menggantikannya kelak sebagai Mangkau’ di Bone. Namun saya
sampaikan kepada orang banyak bahwa sebelum saya menggantikan Puatta
selaku Arumpone, apakah merupakan kesepakatan orang banyak dan bersedia
berjanji denganku?”
Seluruh anggota Hadat dan orang banyak berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh orang banyak”.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Seluruh orang banyak berkata ; ”Angikko
Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng mutappalireng – muwawa ri peri
nyameng” (Baginda angin dan kami semua daun kayu – dimana Baginda
berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh kesulitan dan kesenangan).
La Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu
Mario Riwawo, Arung di Palakka sebelum memangku Mangkau’ di Bone
menggantikan MatinroE ri Bukaka.
Sesudah perjanjian Bungaya 18 November
1667 M. dia menegakkan kembali kebesaran Bone, melepaskan dari jajahan
Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu dan Wajo, semuanya dilepaskan dari
jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang menguasai Tanah
Toraja sampai di pegunungan Latimojong yang ikut membantu Bone, diangkat
sebagai daerah passeyajingeng (daerah sahabat).
Oleh karena itu Arumpone La Tenri Tatta
digelar Petta To RisompaE atas dukungan Kompeni Belanda yang memberinya
kekuasaan sebagai Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Tanah Ugi. La Tenri
Tatta To Unru lalu membuat payung emas dan payung perak di samping
Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni Belanda diberinya selempang emas dan
kalung emas sebagai tanda kenang-kenangan Kompeni Belanda atas jasa
baiknya menjalin kerja sama.
Selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta To RisompaE belum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu
Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia
mengawali dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone kelak
yaitu La Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We Ummung Datu Larompong.
We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE
(Bone, Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun
1686 M. Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula
Soppeng, Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga
orang, Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang. Sedangkan
Ajangale’ dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.
Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, adalah,
”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.
Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan isterinya Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah sahabat Bone menyaksikannya.
Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah,
”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.
Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah -tenri pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE (cera’
tidak bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung).
Kecuali semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.
Ketika kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana – digeso’ (tradisi orang Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa), diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili Passeyajingeng Bone.
Pada saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada kemanakannya itu
Pattiro dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak
sesudah memotong rambutnya.
Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.
Pada acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng Bone, seperti TellumpoccoE,
LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu,
TelluE Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni Belanda.
Pada saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya yang bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta To RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu,
”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun tahta sebagai Datu Luwu”.
Permintaan tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri Bontoala dengan MatinroE ri Tompo’tikka untuk mengangkat We Pattekke Tana sebagai Datu Luwu sampai kepada anak cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh TellumpoccoE.
Dari perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah Batara Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo dengan suaminya yang bernama La Ummareng Opu To Mallinrung.
We Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu We Tenri Leleang, inilah yang menjadi pewaris Datu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La Oddang Riwu Daeng Mattinring, dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete. Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario Riwawo.
Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Makassar. Tahun 1696 M. ia meninggal dunia di rumahnya di Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.
1 komentar:
thx..krn dri sini aq dapat ilmu pengethuan yg baru
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar